Salah Satu Tugas Sebagai Anak

June 17, 2016

daddy and daughter
(Pic taken from Google)


Setahun lalu saya menerima telepon dari nomor yang nggak saya kenal. Sewaktu saya jawab, ternyata dari Bapak. Bapak kandung saya lebih tepatnya, yang terakhir kali saya temui kurang lebih 11 tahun lalu.

Bapak bilang, bapak sedang sakit keras, sudah bolak-balik ke rumah sakit di Purwakarta, dan butuh banyak biaya. Saat itu, saya nggak langsung percaya. Yang ada di kepala hanyalah berbagai macam kelebat sejarah hidup Bapak dan Ibu, serta potongan-potongan ingatan tentang Bapak yang selalu berurusan dengan uang dan kasus hukum.

Saya ingat statement terakhir saya ke Bapak sewaktu membantu beliau, 'kalau bukan urusan hidup dan mati, saya nggak mau bantu Bapak lagi. Sudah cukup saya dibohongi.' Setelah itu kami berpisah jalan. Atau tepatnya saya nggak mau lagi peduli soal Bapak ada atau tidak. Toh selama 30 tahun, saya baru bertemu Bapak 3-4 kali. Walau darah tetap darah, namun rasa keterikatannya tidak terasa sampai ke lubuk hati saya.

Persoalan Bapak dan Ibu cukup pelik, dan menimbulkan banyak permasalahan di hidup saya. Saya sebagai anak terberi kesusahan ciptaan mereka berdua, orang dewasa yang tak ingin menurunkan dinding gengsi ataupun kadar ego. Sampai akhirnya pemberontakan demi pemberontakan saya lakukan, berbelas tahun lamanya, demi saya bisa bertahan (ini anggapan saya sebagai anak belasan tahun pada saat itu).

Saya, Ayah tiri dan Ibu saya berdiskusi panjang mengenai persoalan ini. Saya sebagai anak merasa excess baggage yang ada di diri saya tentang ini sudah terlampau membebani. Sudah saatnya Bapak dan Ibu bertemu muka, saling memaafkan satu sama lain, saling menghilangkan ego. Ini menjadi salah satu tugas saya sebagai anak, ingin menengahi dan membenahi. Karena saya satu-satunya anak dari perkawinan mereka. Dulu Ibu menolak dengan keras dan lantang. Ibu tidak mau bertemu dengan Bapak lagi, tanpa ada pengecualian.

Sampai satu sore, tiba-tiba Ibu SMS saya yang masih di kantor dan seperti biasa, menenggelamkan diri di pekerjaan. Ibu bilang, Ibu dan Ayah ada di Pasar Karet Belakang, Setiabudi, mencari Bapak. Saya kaget, hati ngilu, kepala pusing, apa gerangan yang membuat Ibu melakukan hal tersebut. Ibu cuma bilang, Ibu sudah diskusi kembali dengan Ayah, dan ini langkah pertama setelah dinding pertahanan egonya runtuh. Mencari Bapak, walau hasilnya nihil.

Beberapa hari setelah kejadian itu, saya berinisiatif membantu Ibu, diantar dengan pacar yang sabar dan berusaha menenangkan saya sepanjang jalan. Hasilnya nihil. Informasi yang saya dapatkan waktu itu dari teman Bapak, bahwa Bapak sudah lama tidak berdagang. Bapak saya berdagang Sate Ayam keliling di sekitaran Setiabudi, Kampus Perbanas, Karet Belakang bahkan sampai ke Mall Ambassador. Banyak pelanggan Bapak yang mencari Bapak, tapi Bapak menghilang seperti ditelan bumi.

Minggu lalu, hari Minggu tanggal 12 Juni ada LINE message masuk dari adik tiri saya, hasil perkawinan Bapak dengan Ibu di Purwakarta. Gadis remaja kelas 3 SMA yang aktif main basket di sekolahnya. Mirip sekali dengan saya dulu, hobi basket dan tomboy. Adik saya kirim sebuah foto, di dalam foto tsb ada seorang laki-laki tergolek lemah berbalutkan selimut seadanya dengan tubuh yang kurus kering. Itu adalah Bapak. Bapak mengidap komplikasi Paru, Liver dan TBC. Dokter di Purwakarta sudah menyerah membantu kelangsungan hidup Bapak, dan keluarga pun senada dengan Dokter. Bapak dipulangkan ke rumah dengan perawatan seadanya. Segala macam pengobatan sudah dijalani, namun kondisi Bapak tidak kunjung membaik.

Di LINE message tersebut, adik perempuan saya meminta supaya saya memaafkan semua kesalahan Bapak, mengikhlaskan semua kejadian yang ada di masa lalu, agar jalan Bapak lapang, ke mana pun itu tujuannya. Saya langsung bilang, saya akan ke rumah Bapak minggu depan, bersama Ayah dan Ibu saya, karena saya merasa Bapak butuh bertemu dengan Ibu, karena saya hanyalah anak, Bapak dan Ibu lah yang seharusnya saling memaafkan. Bukan dengan saya. Adik saya mengamini, dan mengijinkan saya membawa Ayah dan Ibu saya ke sana.

Lalu pagi tadi, saya, Ayah, Ibu dan pacar saya berangkat menuju Desa Cicinde Utara, masih jauh jaraknya dari Purwakarta. Sepanjang jalan kami berdiskusi, berusaha menguatkan mental Ibu yang kelihatan sekali tergerus habis dengan segala macam pikiran yang hanya beliau dan Tuhan yang tahu, mengingatkan bahwa apapun reaksi atau respon yang kami terima dari keluarga istri Bapak di sana itu adalah, sudah kehendak Tuhan. Prepare for the worst, hope for the best.

Sesampainya kami di rumah Bapak, kami disambut oleh keluarga Bapak. Ada kedua adik perempuan saya, Ibu tiri saya, adiknya Ibu tiri saya dan Emak Haji (Ibunya Ibu tiri saya). Sebelum masuk ke rumah, saya memperkenalkan Ayah dan Ibu saya, meminta ijin ke Ibu tiri saya untuk memperbolehkan mereka menjenguk Bapak. Demi melapangkan jalan Bapak. Bersyukur, Ibu tiri saya mengijinkan, wajahnya menyiratkan kelegaan, keihklasan seorang istri dan tulang pungung keluarga saat ini, bahwa Ia akan melakukan dan berusaha yang terbaik demi suaminya yang terkapar tidak berdaya.

Bapak ditempatkan di ruangan yang tidak terlalu dekat dengan kamar anak-anaknya, karena adik saya yang paling besar sudah punya 2 orang anak yang masih balita, takut tertular, maka cara itulah yang menurut mereka paling baik. Sewaktu saya menghampiri Bapak yang tergolek lemah di kasur yang ditata seadanya, saya hampir tidak mengenali beliau, kecuali matanya. Saya cium kedua tangan Bapak, beliau berkali-kali bilang..

"Jangan deket-deket Bapak, Bapak bau.. Ega.. Ega.." Matanya walau lemah tampak berbinar-binar. Saya berusaha menahan diri sekuat mungkin, supaya tidak menangis. Mengingat ada Ibu yang juga harus saya kuatkan.

"Ega bawa Ayah dan Ibu ke sini.."
"Bapak Dul?" tanya Bapak saya
"Inggih Pak.. saya Dul.." jawab Ayah tiri saya
"Yat?" Bapak melihat ke arah Ibu saya lalu menangkupkan kedua tangannya. Ibu hanya mengangguk pelan.
"Bapak, maaf Ega baru ke sini.. maafin Ega ya, maafin Ibu, maafin semua kesalahan kami berdua. Kami sudah ikhlas." ucap saya sambil terus menggenggam kedua tangan Bapak. Lamat-lamat Bapak mengucap kalimat syahadat, pelan namun pasti.

Ayah tiri saya memberi semacam kode, yang berarti saya harus membimbing Bapak menyelesaikan kalimat syahadatnya lagi dan lagi. Saya berangsur mendekatkan diri ke telinga Bapak, membantunya mengucapkan kalimat syahadat beberapa kali.

Setelah kondisi Bapak sudah tenang dan bisa tidur kembali, saya mengajak Ayah dan Ibu serta pacar kembali ke ruang tamu, mengobrol dengan Ibu dan adik-adik tiri saya. Menggendong keponakan-keponakan saya, bercengkrama, bertukar cerita dan bersama-sama mendoakan Bapak.

Kami berpamitan pulang, saya memeluk adik perempuan tiri saya erat-erat sambil membisikkanya sesuatu. Saling berjanji memberi kabar satu sama lain, jangan sampai ada keraguan meminta bantuan bila memang membutuhkan. Ini juga salah satu tugas saya sebagai anak yang paling besar. Darah kami sama. Terberi dan mengalir dari Bapak, dan tidak dapat dipungkiri.

Seperjalanan pulang saya mengingatkan Ibu, bahwa saat ini, salah satu tugas saya sebagai anak sudah selesai. Mempertemukan kembali Bapak dan Ibu, dan saya harap mereka berdua sudah saling memaafkan, walau tidak diucapkan. Ibu meminta maaf telah menyusahkan hidup saya sekian lama, saya sudah memaafkan. Kesalahan orang tua tidak selamanya menjadi beban anak. Kembali lagi ke masing-masing anak, bagaimana caranya mereka memanfaatkan kesalahan tersebut, lantas menjadikannya laksana batu bara yang menjalankan kereta api, agar sampai di tujuannya. Itu yang saya lakukan terhadap hidup saya selama 30 tahun terakhir.

Tidak ada yang pernah mengatakan bahwa, menjadi orang tua itu mudah. Begitu pula menjadi seorang anak yang nantinya akan tumbuh dan menjadi orang tua juga. Semua memiliki peranannya masing-masing, jangan sampai salah mengambil keputusan yang pada akhirnya menyebabkan banyak sekali unfinished business, menggantung, terombang-ambing tak bermuara ke satu tempat bernama ikhlas.

Bapak, Ibu, Ayah, terima kasih sudah membesarkan saya sampai seperti ini. Kalian adalah orang tua-orang tua yang hebat, saya bersyukur memiliki kalian semua. Tugas saya sebagai anak kali ini, selesai sudah. Mari kita bersama-sama membuka lembaran baru, dengan hati yang tak lagi dipenuhi dengan prasangka masa lalu. Karena hidup tidak perlu se-melelahkan itu.

Salam sayang dan hormat, Ega.

Ciganjur, June 17th 2016
"Bilur" - Danilla Riadi

You Might Also Like

0 comments